Atasi Luka Bakar Dan Lecet Dengan Nutrimoist Tanpa Bekas

Thursday, December 10, 2015

Trauma Psikologis Dan Cara Mengobatinya

Membantu Anak yang Mengalami Trauma


Anak-anak memerlukan bantuan untuk mengatasi krisis trauma, dan mengatasi perasaan-perasaan negatif mereka.
  • Kehadiran seorang dewasa yang penuh kasih sayang dan mau memberi support, adalah keperluan yang terutama dari seorang anak yang mengalami trauma. Mereka terhibur jika ada seorang dewasa yang tidak akan meninggalkan mereka, dan dapat diminta bantuannya jika perlu.
  • Si anak membutuhkan informasi cukup untuk menenangkan dia, tetapi jangan terlalu mendetail supaya tidak menambah perasaan trauma. Selalu beritahukan dia keadaan yang benar; jika dia dibohongi, hubungan baik dan saling percaya  dengan si anak akan menjadi rusak di kemudian hari.
  • Anak-anak perlu mengolah kejadian trauma dengan anak-anak seumur. Salah satu cara adalah dengan melakukan terapi kelompok bermaian (group play therapy), yang kita akan pelajari nanti. Mereka perlu seorang pemimpin yang penuh kasih sayang, yang dapat membantu mereka menafsirkan kejadian trauma dalam perspektif yang benar.
Prinsip utama intervensi trauma yang kita akan pelajari dapat digunakan untuk segala macam trauma yang dialami anak-anak, karena trauma selalu mengakibatkan kehilangan. Misalnya, jika rumah dan keluarga terlibat dalam trauma (misalnya akibat  perang, perceraian, pelecehan yang terjadi di dalam rumah, atau menjadi jatim piatu), kehilangan ini adalah besar sekali untuk si anak, dan mengakibatkan luka-luka emosi yang dalam.

Tanda dan Gejala Trauma


Anak yang sedang mengalami PTSD sering mengalami kejadian trauma sekali lagi dengan cara—
  • Mengingat kejadian trauma berkali-kali atau turut serta dalam permainan dimana kejadian trauma diulang-ulang
  • Mimpi buruk yang mengecewakan atau menakutkan
  •  Berlaku atau mempunyai perasaan seperti kejadian trauma terjadi lagi
  • Jika anak ini teringat akan kejadian trauma, dia mengalami gejala emosional atau gejala fisik yang berulang-ulang
Anak yang diganggu PTSD kadang-kadang juga mengalami gejala-gejala sebagai berikut. Mereka kadang-kadang –
  • Mengarahkan kesulitan mereka kepada diri sendiri, menjadi pendiam, tidak mau bergaul dengan teman-teman mereka.
  • Kelakuan mereka seperti anak kecil lagi (ngompol di tempat tidur, mengisap jempol, mimpi ketakutan), atau bicara bergagap.
  • Menjadi cepat marah, aggressive, berkelakuan nakal, berkelahi.
  • Tidak dapat tidur, takut tidur sendiri, tidak mau ditinggal sendirian meskipun untuk waktu yang singkat saja.
  • Mencari “tempat aman” di tempat mereka berada. Kadang-kadang mau tidur di lantai, tidak mau tidur di tempat tidur, karena takut kalau tidur nyenyak tidak tahu kalau bahaya datang.
  • Ketakutan kalau mendengar, melihat, atau mencium sesuatu yang mirip seperti waktu kejadian trauma berlangsung. Bunyi mobil kadang-kadang mengingatkan si anak kepada bunyi tembakan yang membunuh seseorang. Untuk seorang anak, mendengar anjingnya jalan turun dari tangga, seperti ayahnya jatuh dari tangga dan mati.
  • Menjadi waspada terus-selalu melihat-lihat sekeliling karena takut ada bahaya.
  • Berlaku seperti tidak takut karena sesuatu dan kepada siapapun juga. Kalau ada bahaya mereka berlaku tidak wajar, sambil berkata mereka tidak takut pada apapun juga.
  • Lupa kecakapan yang baru saja dipelajari.
  • Berkata-kata mau membalas dendam.
  • Sakit kepala, sakit perut, cepat capai dan sakit-sakit yang sebelumnya tidak ada.
  • Sering mengalami kecelakaan karena mengambil risiko yang berbahaya, menempatkan diri sendiri di tempat-tempat bahaya, men-sandiwarakan kejadian trauma sekali lagi seperti korban (victim) atau tokoh.
  • Kesulitan-kesulitan di sekolah, nilai yang menurun, dan kesulitan konsentrasi.
  • Menjadi pessimis, tidak ada harapan masa depan, kehilangan keinginan untuk survive, bermain, menikmati hidup.
  • Minum obat narkotik atau ikut gerakan-gerakan yang melawan kebudayaan (counter culture movement) teristimewa bagi anak-anak yang lebih tua.
Sesudah kejadian trauma berakhir, dan keadaan aman kembali, pikiran dan perasaan trauma masih saja mempengaruhi si anak untuk waktu yang lama. Pengalaman teroris masih terkilas dengan jelas dipikiran si anak, dan sangat mempengaruhi dia. Ini menyebabkan—
  • Luka emosi
  • Bingung (karena tidak mengerti trauma)
  •  Kelainan tingkah laku

Respon Anak Terhadap Trauma

Kadang-kadang susah untuk membedakan penyesuain diri yang normal terhadap kejadian trauma, atau PTSD. Sesudah kejadian yang tragis, krisis, atau kehilangan yang besar, biasanya orang berada dalam keadaan guncangan-jiwa (shock). Ini terdiri dari dua tahap: menyangkal kejadian, dan mati rasa. Pertama mereka bergumul dengan kejadian dengan menyangkal bahwa kejadian ini sungguh-sungguh terjadi. Tetapi lama kelamaan, sesudah mereka menceriterakan hal ini kepada orang lain, mereka berhenti menyangkal dan mereka pergi ketahap kedua dari shock, jaitu mati rasa. Lalu, sesudah mereka membicarakan perasaan emosi mereka yang dalam dengan orang lain, mereka akhirnya dapat menerima perasaan-perasaan mereka sendiri dan dapat berhubungan dengan orang lain.
Biasanya anak-anak membutuhkan waktu yang lebih lama daripada orang dewasa untuk keluar dari keadaan shock. Anak2 biasanya menarik diri, atau membicarakan segala macam kejadian lain, kecuali kejadian traumatis itu, sampai mereka berasa aman dan dapat bicara tentang ini. Jika tidak ada orang yang dapat menggapai mereka dengan sabar dan kasih, atau bermain dengan mereka dengan cara “play therapy”, waktu penyembuhan ini dapat menjadi lebih panjang lagi.
Pada umumnya, seorang anak yang sedang memperlihatkan reaksi traumatis akan memperlihatkan tabiat yang ekstrim; kadang-kadang dengan reaksi yang berkurang sekali, atau dengan reaksi yang malah berlebih-lebihan. Tanda-tanda dari reaksi trauma yang panjang adalah menangis dengan tiba-tiba, terkejut karena bunyi-bunyiaan, atau mengalami kilas-balik (flashback) dari kejadian trauma itu.
Trauma susah dimengerti, dan berbahaya bagi seorang anak. Sesudah kejadian trauma, sang anak merasa tidak percaya diri sendiri, mudah dilukai, tidak tahu bagaimana harus bereaksi, dan penuh ketakutan bahwa kejadian trauma akan terulang.

Sumber Trauma



Trauma psikologis biasanya diakibatkan oleh kejadian yang dialami atau dilihat seorang anak. Pada umumnya ini dapat dibagi 4 golongan:
  • Menjadi korban, misalnya diculik, ditodong, diperkosa atau dipaksa untuk melakukan hal2 yang bukan2.
  • Kehilangan kepercayaan diri sendiri dan kepercayaan akan orang lain, kehilangan rumah, sekolah, pengobatan, keperluan se-hari2.
  • Persoalan yang berasal dari kehidupan keluarga, misalnya perkosaan oleh ayah tiri, keluarga yang disfunctional, ditinggal orang tua, kemiskinan, menjadi jatim piatu.
  • Bencana alam, misalnya kebakaran, kebanjiran, hujan lebat dan badai, tsunami.

Trauma dan Kehilangan pada Anak-Anak


Anak-anak selalu memperlihatkan kesakitan emosi, demikian juga kesakitan fisik. Ini adalah fakta yang benar dari anak-anak yang pernah mengalami keadaan yang sangat sulit. Mereka menderita luka-luka emosi yang dalam sebagai akibat perlakuan yang kasar dan merugikan yang mereka alami. Kadang2 mereka dipaksa untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mau dilakukan. Anak merasa dihianati oleh orang tuanya dan orang-orang dewasa lain. Mereka merasa tidak ada kepercayaan diri sendiri karena hidup lingkungannya, maupun struktur-struktur dan aturan-aturan hidupnya hancur. Lagi pula, banyak anak merasa bersalah, karena mereka tidak berdaya menghentikan segala sesuatu yang telah terjadi. Luka-luka emosi ini mengakibatkan anak tidak hidup bahagia, dan tidak mempunyai harapan untuk masa depan. Sebagai pendamping, kita harus mencari jalan untuk menolong anak-anak supaya luka-luka emosi mereka dapat sembuh.
Trauma adalah salah satu perkataan yang sering dipakai untuk melukiskan akibat pengalaman anak-anak dimasa perang, hidup sebagai pengungsi, ditinggalkan keluarga, dan pengalaman-pengalaman lain yang sulit sekali.
Trauma terjadi karena sesuatu kejadian eksternal (bukan dari dalam, tapi dari luar) terjadi dengan tiba-tiba. Kejadian ini biasanya hebat sekali, dan mempengaruhi serta membingungkan anak, sehingga ia tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap perasaan-perasaan emosi yang ia alami karena kejadian ini. Dia dipaksa untuk menangani perasaan-perasaan baru ini, di dalam situasi yang baru dan lain, misalnya pengalaman menjadi anak cacat. Keadaan normal dimana anak ini berasa terlindung sudah tidak ada lagi, dan dia merasa tidak berdaya sama sekali.
Trauma mengakibatkan anak kehilangan kemurnian dan kepercayaan bahwa ia tinggal di dunia aman, dimana orang tuanya selalu memelihara dan mengasihi dia. Trauma juga mengakibatkan anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap orang dewasa dan kehilangan harapan untuk masa depan.
Sangatlah mudah untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami patah tulang kaki atau tangan. Tetapi sukar sekali untuk mengerti trauma yang melukai jiwa anak dan mengakibatkan kelainan tingkah laku.

Trauma Bisa Jadi Penghalang


Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut kini digunakan untuk menggambarkan situasi akibat suatu kejadian yang dialami seseorang. Dalam psikologi, trauma berarti benturan atau suatu kejadian – biasanya negatif – yang dialami seseorang dan membekas, disebut post-traumatic disorder(PTSD).
Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya, trauma dikategorikan menjadi dua, yaitu trauma fisik dan psikologis.
Trauma fisik adalah trauma yang mengakibatkan luka fisik, misalnya kecelakaan, pukulan, dan lain-lain. Sedangkan trauma psikologis disebabkan oleh kejadian yang melukai batin, misalnya sering dibanding-bandingkan, sering dicaci maki dan dilabeli, perceraian, kekerasan seksual, dan lain-lain. Meskipun keduanya memiliki potensi dampak yang sama, namun trauma psikologis sangat berdampak buruk dan membekas. Penyebab trauma bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari kekerasan, kehilangan atau perpisahan, eksploitasi, dan sebagainya. Namun trauma yang kerap berdampak degatif bagi masa depan seseorang – menjadi penghalang kesuksesan – adalah trauma yang disebabkan oleh kejadian yang sangat memukul dalam lingkungan keluarga seperti perceraian, kematian, atau kekerasan dalam rumah tangga, apalagi jika berlangsung terus menerus dalam waktu lama. Bahkan – berdasarkan penelitian – trauma dapat berdampak buruk pada perkembangan otak anak, yang pada gilirannya akan meningkatkan ‘arousal’ atau kewaspadaan yang berlebihan, agresi, hiperaktifitas, impulsifitas, dan sulit berkonsentrasi. Semua itu akan berdampak buruk terhadap pencapaian keterampilan, prestasi akademik, integrasi sosial, pemecahan masalah dan kesehatan mental umumnya – dan akan menjadi penghalang langkah seorang anak menuju masa depan yang baik.
Trauma pada anak sangat perlu diwaspadai, karena seorang anak memiliki tiga sifat yang dominan, yaitu:
  • Sifat tape recorder; anak bisa merekam apapun yang ia dapatkan
  • Sifat reseptif; anak dengan mudah dapat menerima apapun yang dia dengar ataupun lihat
  • Sifat meniru; anak cenderung mengikuti tindakan atau kebiasaan yang sudah ia terima sebagai suatu kewajaran.
Seorang anak yang dibesarkan dengan pola asuh keras dan sering menerima pukulan atau kekerasan lainnya, besar kemungkinan ia akan meniru tindakan tersebut atau mengangaap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan kekerasan.
Secara umum gejala  trauma pada anak dapat dikenali dari perubahan tingkah lakunya, misalnya tiba-tiba menjadi pendiam, murung, tidak berdaya dan mudah takut. Sementara secara fisik misalnya sering mengeluh pusing, muntah-muntah, sakit perut dan nafsu makan menurun. Gejala lain bisa berbentuk anak tiba-tiba jadi mudah menangis tanpa sebab, tidak bisa tidur atau tidur dengan gelisah, tidak mau ditinggal barang sekejap pun, over sensitive terhadap suara keras, tidak mau mendengar atau melihat sesuatu yang berkaitan dengan trauma, dan lain-lain. Karena trauma pada anak tidak selalu mudah dikenali, perlu dijaga suatu komunikasi yang baik dan mendalam antara anak dengan orang tua. Hal ini dimaksudkan agar anak tidak merasa enggan atau takut untuk berbagi pengalaman buruk dengan orang tuanya. Anak-anak juga harus dijauhkan dari situasi yang terlalu menakutkan baginya. Jika anak mengalami trauma berat, segera berikan terapi khusus.
Meskipun trauma bisa terjadi pada semua orang tanpa mengenal usia dan jenis kelamin, namun besar kecilnya dampak sangat tergantung pada faktor internal seseorang, terutama mengenai sesuatu yang dia anggap penting dan kekuatan mentalnya. Pada orang yang mentalnya kurang kuat, trauma bisa menetap hingga ewasa dan menghalangi langkahnya. Misalnya pemberian label negatif pada seorang anak akan menumbuhkan konsep dan citra diri negatif dalam dirinya secara tidak sadar. Dengan trauma semacam ini, mudah ditebak akan menjadi orang dewasa seperti apa dia kelak kemudian hari. Dia mungkin menjadi seseorang yang peragu, tidak bisa mengambil keputusan, tidak percaya diri, minder, serba takut, dan sebagainya.
Tidak selamanya orang yang mengalami peristiwa negatif akan mengalami trauma, tergantung pada dukungan
lingkungan sosial di mana ia berada. Seorang anak dengan orang tua yang bercerai dapat tumbuh dan eksis dengan baik jika orang tuanya tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan lingkungan lain (keluarga besar, masyarakat sekitar, guru) bisa menerima bahkan mendukungnya. Dan perjalanan hidupnya pun tidak terhambat.
Memang bukan hal mudah untuk mengatasi trauma. Semua tinggal tergantung pada individunya, apakah memilih untuk jalan terus dan sampai pada fase-fase berikutnya, ataukah memilih untuk menyerah dan berhenti berjalan. Bila memutuskan untuk terus berjalan, maka harus ada tekad untuk mengatasi trauma itu. Baik dengan cara sendiri, melibatkan orang lain, ataupun melalui terapi khusus dengan bantuan ahli. Untuk mempermudah, harus memiliki keberanian untuk terbuka dan berbagi dengan orang terdekat serta terbuka untuk menerima informasi dari luar. Support kelompok dalam banyak kasus juga sangat membantu pemuliha diri. Jika suatu pengalaman sangat traumatis hingga mempengaruhi kondisi kejiwaan dengan cukup parah, jangan ragu untuk meminta bantuan ahli. Masa depan tidak dapat ditukar dengan apapun

Penyebab Trauma


Penyebab trauma bisa beragam bentuknya, mulai dari kekerasan, kehilangan, atau perpisahan, eksploitasi.
Namun trauma yang seringkali menimbulkan dampak negative bagi masa depan seseorang adalah trauma yang disebabkan kejadian yang sangat memukul dalam lingkungan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau kekerasan dalam rumah tangga.
Apalagi jika hal-hal tersebut terjadi secara terus menerus dalam waktu berkepanjangan.
Penyebab trauma bisa beragam bentuknya, mulai dari kekerasan, kehilangan, atau perpisahan, eksploitasi.

0 comments:

Post a Comment

Ingin dapat tips Kesehatan Dan Info Seputar Kehidupan Yuks Di follow fans Fage Kami.

Dikirim oleh Zulfahmi Muhabbar pada 3 Januari 2016

Produk Paling Laku Bulan Ini

Produk Paling Laku Bulan Ini
Well 3 Royalzim, Sang Pionir Enzim Kompleks

Kategori Artikel

AGAMA (13) ALAM SEMESTA (5) ANDROID (1) BERITA (42) BLOGGER (7) COMPUTER (17) DREAM (1) ENGLISH (1) ENTERTAIMENT (7) FIKSI (9) GAME (3) GRAFITI (1) HACKER (3) HARDWARE (15) HOROR (3) HP (2) INFO (91) INSPIRATIF (16) INTERNET (9) KATA BIJAK (3) KEAMANAN KOMPUTER (2) KECANTIKAN (9) KEJAHATAN (3) KESEHATAN (30) KISAH (6) KOMPUTER (7) LAPTOP (3) LOPE (14) LUAR ANGKASA (1) LUCU (13) MAKANAN (10) MISTERI (4) NETWORK (7) OFFICE (18) OLAHRAGA (2) OS (5) PENDIDIKAN (13) Produk CNI (61) PSIKOLOGI (18) PUISI (1) RUMAH TANGGA (14) SOFTWARE (37) TEKNOLOGI (46) TIPS (66) TOKOH (9) TROUBLESHOOTING (12) TUGAS KULIAH (3) TUTORIAL (14) UNIK (18) WINDOWS (2) WIRELESS (7) WISATA (2)