Gangguan depresi mayor di diagnosis berdasarkan pada munculnya satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manic (berhubungan dengan maniak, seperti dalam fasemanic dari gangguan bipolar) atau hypomanic (mengacu pada keadaan maniak yang lebih ringan atau kegirangan). Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami salah satu di antara mood depresi (merasa sedih, putus asa, atau terpuruk) atau kehilangan minat/rasa senang dalam semua atau berbagai aktivitas untuk periode waktu paling sedikit 2 minggu (APA, 2000).
Orang dengan gangguan depresi mayor juga memiliki selera makan yang buruk, kehilangan atau bertambah berat badan secara mencolok, memiliki masalah tidur atau tidur terlalu banyak, dan menjadi gelisah secara fisik, atau yang pada situasi ekstrem lainnya menunjukkan melambatnya aktivitas motorik mereka. Orang dengan depresi mayor dapat kehilangan minat pada hampir semua aktivitas rutin dan kegiatan senggang mereka, memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi dan membuat keputusan, memiliki pikiran yang menekan akan kematian, dan mencoba bunuh diri.
Gangguan depresi mayor adalah tipe paling umum dari gangguan mood yang dapat di diagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 25% untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria (APA, 2000). Depresi mayor, khususnya pada episode yang lebih berat atau parah, dapat disertai dengan cirri psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Coryell dkk., 1996). Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti “mendengar” suara-suara orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas kesalahan yang dipersepsikan.
Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan atau satu tahun atau bahkan lebih (APA, 2000; USDHHS, 19991). Rata-rata orang dengan depresi mayor dapat diperkirakan mengalami empat episode selama hidupnya (Judd, 1997). Orang yang terus memiliki simptom-simptom yang terus bertahan, banyak ahli memandang depresi mayor sebagai suatu gangguan kronis, bahkan sepanjang hidup. Dari sisi positifnya, semakin panjang periode kesembuhan depresi mayor, semakin rendah risiko untuk kambuh di kemudian hari (Solomon dkk., 2000).
Ciri-ciri Diagnostik dari suatu Episode Depresi Mayor
Suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau lebih ciri-ciri atau simptom-simptom selama suatu periode 2 minggu, yang mencerminkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya. Paling tidak satu dari ciri-ciri tersebut harus melibatkan (1) mood yang depresi, atau (2) kehilangan minat atau kesenangan dalam beraktivitas. Selain itu, penegakkan diagnosis memerlukan hadirnya empat simptom tambahan, seperti gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, perasaan tidak berarti, pikiran untuk bunuh diri, dan sulit berkonsentrasi.
Gotlib, Lewinsohn, dan Seeley (1995) menemukan bahwa para individu yang mengalami kurang dari lima simptom, yaitu yang mengalami apa yang disebut depresi subklinis, juga mengalami kesulitan dalam keberfungsian psikososial sama besar dengan para individu yang memenuhi persyaratan formal bagi diagnosis depresi. Simptom-simptom tersebut harus menyebabkan baik tingkat distress yang signifikan secara klinis ataupun paling tidak dalam satu area penting dari fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, dan harus bukan merupakan akibat langsung dari penggunaan obat-obatan atau medikasi, dari suatu kondisi medis, atau dari gangguan psikologis lain. Episode tersebut tidak boleh mewakili suatu reaksi berduka yang normal terhadap kematian seseorang yang dicintai, yaitu berkabung (bereavement).
- Mood yang depresi, sedih dan tertekan hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari. Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-anak atau remaja.
- Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam semua atau hampir semua aktivitas, hamper setiap hari, hamper sepanjang hari.
- Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (5% lebih dari berat tubuh dalam sebulan), tanpa upaya apa pun untuk berdiet, atau suatu peningkatan atau penurunan dalam selera makan.
- Setiap hari (atau hampir setiap hari) mengalami insomnia atau hipersomnia (tidur berlebuhan).
- Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons gerakan hampir setiap hari.
- Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari.
- Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa bersalah yang berlebihan atu tidak tepat hampir tiap hari.
- Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih atau untuk membuat keputusan hampir setiap hari.
- Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau bunuh diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh diri, atau rencana yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.
Faktor-faktor Risiko dalam Depresi Mayor
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan depresi mayor meliputi usia (onset awal lebih umum terjadi pada dewasa muda daripada dewasa yang lebih tua); status sosioekonomi (orang dengan taraf sosioekonomi yang lebih rendah memiliki risiko yang lebih besar dibanding mereka dengan taraf yang lebih baik); dan status pernikahan (orang yang berpisah atau bercerai memiliki risiko yang lebih tinggi daripada orang yang menikah atau tidakpernah menikah).
Wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar daripada pria untuk mengalami depresi mayor. Meski perbedaan hormonal atau perbedaan biologis lainnya yang terkait dengan gender kemungkinan berpengaruh, namun sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh American Psychological Association (APA) menyatakan bahwa perbedaan gender sebagian besar disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stress yang dihadapi wanita dalam kehidupan kontemporer. Diskusi panel tersebut menyimpulkan bahwa wanita lebih cenderung daripada pria untuk menghadapi faktor-faktor kehidupan yang penuh tekanan seperti penganiayaan fisik dans eksual, kemiskinan, orang tua tunggal, dan diskriminasi gender. Pria dan wanita dengan gangguan tersebut tidak berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh, keparahan/durasi kambuh, atu jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya.
Perbedaan dalam gaya coping juga dapat membantu menjelaskan mengenai lebuh besarnya kerentanan wanita untuk terkena depresi. Respon coping seseorang dapat menambah atau mengurangi keparahan dan durasi dari episode depresi. Depresi mayor umumnya berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata onsetnya adalah pertengahan 20 (APA, 2000).
Tinjauan berdasarkan Perspektif Biopsikososiokultural
- a. Faktor Biologis
Suatu bidang pengetahuan yang semakin berkembang mengimplikasikan faktor-faktor genetis pada gangguan mood. Gangguan mood termasuk depresi mayor dan terutama gangguan bipolar cenderung menurun dalam keluarga. Bukti yang mengacu pada suatu dasar genetis untuk gangguan mood berasal dari penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan genetis yang dibagi seseorang dengan orang lain yang menderita suatu gangguan mood mayor (depresi mayor atau gangguan bipolar), semakin besar kecenderungan bahwa orang tersebut juga akan menderita suatu gangguan mood mayor.
Para peneliti percaya bahwa keturunan memainkan peranan penting dalam depresi mayor. Namun, genetis bukanlah satu-satunya determinan dari depresi mayor, juga bukan determinan yang paling penting. Faktor-faktor lingkungan, seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan, tampaknya memainkan peranan yang paling tidak sama besarnya dibandingkan genetis. Tampaknya depresi mayor adalah suatu gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh suatu kombinasi dari factor-faktor genetis dari lingkungan. Faktor-faktor genetis dapat memainkan peranan yang lebih besar dalam menjelaskan gangguan bipolar daripada depresi unipolar (gangguan depresi mayor) (Krehbiel, 2000).
Faktor-faktor Biokimia dan Abnormalitas Otak dalam Depresi
Penelitian awal mengenai dasar penyebab biologis dari depresi berfokus pada berkurangnya tingkat neurotransmitter dalam otak. Neurotransmiter pertama kali dicurigai memainkan peran dalam depresi pada tahun 1950-an. Penemuan yang dilaporkan pada masa itu adalah pasien hipertensi (tekanan darah tinggi) yang meminum obat reserpine sering menjadi depresi. Reserpine menurunkan suplai dari berbagai neurotransmitter di dalam otak, termasuk norepinephrine dan serotonin. Kemudian muncul penemuan bahwa obat-obatan yang menaikkan tingkat neurotransmitter sepertinorepinephrine dan serotonin di otak dapat mengurangi depresi. Obat-obatan ini, disebut antidepresan, termasuk tricyclis, seperti imipramine (nama dagang Tofranil) dan amitriptyline (nama dagang Elavil); monoamine oxidase (MAO) inhibitors, seperti phenelzine (nama dagang Nardil); dan selective serotonin-reuptake inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine (nama dagang Prozac) dansertraline (nama dagang Zoloft).
Pandangan yang lebih kompleks mengenai peran neurotransmitter dalam depresi sedang berkembang (Cravchik & Goldman, 2000). Suatu pandangan yang dipegang secara luas saat ini adalah bahwa depresi melibatkan ketidakteraturan dalam (1) jumlah reseptor pada neuron penerima, tempat di mana neurotransmitter berkumpul, (memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit); atau (2) dalam sensitivitas reseptor bagi neurotransmitter tertentu (Yatham dkk., 2000). Antidepresan dapat bekerja dengan cara mempengaruhi jumlah atau sensitivitas dari reseptor. Defisiensi pada neurotransmitter tertentu juga memainkan suatu peranan (Lambert dkk., 2000). Masalah-masalah lebih lanjut yang rumit adalah terdapatnya sejumlah tipe reseptor yang berbeda untuk setiap neurotransmitter. Kemungkinan juga ada banyak subtype untuk setiap tipe. Fungsi dari antidepresan tertentu dapat spesifik pada tipe atau subtipe tertentu dari reseptor.
Metode lain dari penelitian berfokus pada kemungkinan abnormalitas dalam korteks prefrontal (prefrontal cortex), area dari lobus frontal yang terletak di depan area motorik. Peneliti menemukan bukti dari aktivitas metabolism yang lebih rendah dan ukuran korteks prefrontal yang lebih kecil pada diri orang yang secara klinis mengidap depresi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Korteks prefrontal terlibat dalam pengaturan neurotransmitter yang dipercaya terlibat dalam gangguan mood, termasuk serotonin dan norepinephrine, sehingga tidak mengagetkan bila bukti menunjukkan ketidakteraturan pada bagian otak ini.
Sistem Neuroendokrin
Aksis hipotalamik-pituitari-adrenokortikal juga dapat berperan dalam depresi. Bagian limbic pada otak sangat terkait dengan emosi dan juga memengaruhi hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengatur berbagai kelenjar endokrin dan sekaligus kadar hormone yang dihasilkan berbagai kelenjar tersebut. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus juga memengaruhi kelenjar pituitari dan hormone-hormon yang dihasilkannya. Karena relevansinya dengan apa yang disebut simptom-simptom vegetatif pada depresi, seperti gangguan nafsu makan dan tidur, diperkirakan aksis hipotalamik-pituitari-adrenokortikal bekerja terlalu aktif dalam kondisi depresi.
Kadar kortisol (suatu hormone adrenokortikal) yang tinggi pada para pasien depresi, kemungkinan terjadi karena sekresi yang berlebihan pada hormone yang melepaskan thyrotropin oleh hipotalamus. Sekresi kortisol yang berlebihan pada orang-orang yang depresi juga menyebabkan pembesaran kelenjar adrenalin. Sekresi kortisol yang terus-menerus berlebihan dikaitkan dengan kerusakan hipokampus, dan berbagai studi menemukan bahwa beberapa pasien yang menderita depresi menunjukkan abnormalitas hipokampus. Kadar kortisol yang tinggi tersebut bahkan mendorong pengembangan suatu tes biologis untuk depresi, yaitu tes supresi deksametason (DST). Deksametason menekan sekresi kortisol. Ketika diberi deksametason dalam tes yang berlangsung selama satu malam, beberapa pasien depresi, terutama yang mengalami depresi delusional, tidak mengalami supresi kortisol. Interpretasinya adalah kegagalan deksametason untuk menekan kortisol mencerminkan aktivitas yang berlebihan dalam aksis hipotalamik-pituitari-adrenokortikal pada pasien yang menderita depresi. Kegagalan supresi dinormalisasi ketika episode depresif berakhir, yang mengindikasikan bahwa hal itu dapat merupakan respons yang tidak spesifik terhadap stress.
- b. Sudut Pandang Psikososial
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai, putusnya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur, sakit fisik, masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, tekanan di pekerjaan, atau rasisme dan diskriminasi meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mood atau kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor. Pada suatu sampel penelitian, peneliti menemukan bahwa dalam sekitar empat dari lima kasus, depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan (Mazure, 1998). Orang juga lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan, seperti masalah sekolah, kesulitan keuangan, kehamilan yang tidak diinginkan, masalah interpersonal, dan masalah dengan hukum (Hammen & de Mayo, 1982).
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dapat berkontribusi pada depresi, dan simptom depresi dalam diri mereka sendiri dapat bersifat menekan atau menyebabkan munculnya sumber-sumber tambahan pada stress, seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan.
Meski stress berimplikasi pada depresi, tidak semua orang yang mengalami stress menjadi depresi. Faktor-faktor seperti keterampilan coping, bawaan genetis, dan ketersediaan dukungan social memberikan kontribusi pada kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan. Pengembangan depresi juga dapat dipengaruhi oleh penyiksaan atau trauma di masa lalu. Konsisten dengan model diatesis stress, peneliti menemukan bahwa wanita muda lebih cenderung untuk mengembangkan depresi saat menghadapi kejadian hidup yang penuh tekanan bila mereka memiliki diatesis dalam bentuk pemaparan terhadap kemalangan di masa kecil seperti kekerasan dalam keluarga ataupun gangguan mental atau alkoholisme orangtua (Hammen, Henry, & Daley, 2000). Penyiksaan fisik atau seksual di masa kecil dapat mengganggu perkembangan dari ikatan awal dengan orangtua, membentuk tahap-tahap perkembangan untuk masalah hubungan serta gangguan emosional yang melibatkan depresi dan kecemasan di masa selanjutnya.
Ketersediaan dukungan sosial juga diasosiasikan dengan kesembuhan yang lebih cepat baik dari episode-episode depresi mayor maupun gangguan bipolar. Orang dengan depresi mayor sering kali kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal dengan teman, teman sekerja, atau supervisor. Namun mereka yang mengambil pendekatan yang lebih aktif dalam menyelesaikan masalah interpersonal cenderung memiliki hasil klinis yang lebih baik daripada orang yang depresi yang memiliki gaya coping yang lebih pasif.
Teori Psikodinamika
Teori psikodinamika klasik menegenai depresi dari Freud (1917/1957) meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting ini.
Freud mempercayai bahwa mourning (berduka) adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang yang hilang karena kematian, perpisahan, perceraian, atau alasan lainnya. Namun, rasa duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Malahan, hal ini akan memupuk depresi yang tak berkesudahan. Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan positif (cinta) dan negatif (marah, permusuhan)) terhadap orang yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya. Freud menteorikan bahwa saat orang merasa kehilangan, atau bahkan takut kehilangan, figure penting dari orang yang kepadanya mereka miliki perasaan ambivalen, perasaan marah mereka terhadap orang tersebut berubah menjadi kemarahan yang ekstrem. Namun, kemarahan yang ekstrem tersebut memicu rasa bersalah, yang justru mencegah mereka untuk mengarahkan rasa marah secara langsung kepada orang yang telah pergi.
Untuk mempertahankan hubungan psikologis dengan objek yang hilang, mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke dalam, suatu representasi mental dari objek itu. Mereka kemudian menyatukan orang lain tersebut ke dalam self. Sekarang kemarahan terarah ke dalam, berhadapan dengan bagian dari self yang mewakili representasi di dalam dari orang yang hilang. Hal ini menimbulkan self-hatred, yang nantinya akan menimbulkan depresi.
Meskipun juga menekankan pentingnya kehilangan, model psikodinamika terbaru lebih berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan perasaaan individual akan self-worth atau self-esteem. Suatu model, yang disebut model self-focusing, mempertimbangkan bagaimana orang mengalokasikan proses atensi mereka setelah suatu kehilangan (kematian orang yang dicintai, kegagalan personal, dll.). Menurut model ini, orang yang mudah terkena depresi mengalami suatu periode self-examination (self-focusing) yang intens setelah terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang besar. Mereka menjadi terpaku pada pikiran-pikiran mengenai objek (orang yang dicintai) atau tujuan penting yang hilang dan tetap tidak dapat merelakan harapan akan entah bagaimana cara mendapatkannya kembali.
Teori Humanistik
Menurut kerangka kerja humanistik, orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-pilihan autentik yang menghasilkanself-fulfillment. Bila kita menganggap kehidupan kita menjemukan mungkin saja kita telah mencegah tercapainya kebutuhan kita akan self-actualization.
Teoritikus humanistik juga berfokus pada hilangnya self-esteem yang dapat muncul saat orang kehilangan teman atau anggota keluarga, atupun mengalami kemunduran atau kehilangan dalam pekerjaan. Kita cenderung menghubungkan identitas personal dan rasa self-worth kita dengan peran-oeran social kita sebagai orangtua, pasangan, pelajar, atau pekerja. Bila identitas peran ini hilang, melalui kematian seorang pasangan, perginya anak-anak untuk kuliah, atau hilangnya suatu pekerjaan, sense of purpose dan self-worth kita dapat terguncang. Depresi adalah konsekuensi yang sering terjadi dari kehilangan yang seperti itu. Terutama jika kita mendasarkan self-esteem kita pada peran pekerjaan atau kesuksesan. Kehilangan pekerjaan, turunnya pangkat, atau kegagalan untuk mencapai suatu promosi adalah pemicu yang biasa dari depresi, terutama bila kita dibesarkan untuk menilai diri kita sendiri berdasarkan kesuksesan pekerjaan.
Teori Belajar
- 1. Reinforcement dan Depresi
Reinforcement sosial dapat hilang saat orang yang dekat dengan kita, yang menjadi pemberi reinforcement, meninggal atau meninggalkan kita. Orang yang menderita kehilangan social lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka kurang memilki keterampilan social dalam membentuk hubungan baru. Namun, adalah mungkin bahwa depresi cenderung menyebabkan dan bukan disebabkan oleh suatu pengurangan reinforcement (J.M. Williams, 1984). Dengan kata lain, depresi dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari aktivitas yang memberikan reinforcement sosial.
- 2. Teori Interaksi
Teori interaksi didasarkan pada konsep interaksi timbal balik. Perilaku seseorang mempengaruhi, dan sebaliknya dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Teori ini meyakini bahwa orang yang mudah depresi bereaksi terhadap stress dengan menuntut diberi keyakinan dan dukungan sosial yang lebih besar. Awalnya, orang yang menjadi depresi dapat sukses dalam mengumpulkan dukungan. Namun setelah beberapa waktu, tuntutan dan perilaku mereka mulai menimbulkan kemarahan dan kejengkelan. Meski orang tercinta mereka dapat menyimpan perasaan negatifnya untuk diri sendiri, agar tidak membuat orang yang depresi menjadi lebih kesal, perasaan-perasaan ini dapat muncul ke permukaan dalam cara halus yang menyatakan penolakan. Orang yang depresi dapat bereaksi terhadap penolakan dengan depresi yang lebih dalam dan tuntutan yang lebih tinggi, memicu penolakan yang lebih lanjut dan depresi yang lebih parah. Mereka juga dapat merasa bersalah karena membuat anggota keluarga lain tertekan, yang dapat memperburuk perasaan negative mereka tentang diri sendiri.
Teori Kognitif
Teori Kognitif dari Aaron Beck
Psikiater Aaron Beck menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negative di awal kehidupan—segi tiga kognitif dari depresi(cognitive triad of depression):
Segi Tiga Kognitif dari Depresi | |
Pandangan Negatif tentangDiri Sendiri | Memandang diri sendiri sebagai tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai, dan sebagai kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan. |
Pandangan Negatif tentang Lingkungan | Memandang lingkungan sebagai memaksakan tuntutan yang berlebihan dan/atau memberikan hambatan yang tidak mungkin diatasi, yang terus-menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan. |
Pandangan Negatif tentang Masa Depan | Memandang masa depan sebagai tidak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang ini terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah usai. |
Beck memandang konsep-konsep negatif mengenai self dan dunia ini sebagai cetakan mental atau skema-skema kognitif yang diadopsi saat masa kanak-kanak atas dasar pengalaman-pengalaman belajar di masa awal.
Kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya kegagalan kecil adalah sebuah contoh dari suatu kesalahan berpikir yang disebut Beck sebagai distorsi kognitif. Distorsi kognitif membentuk tahapan-tahapan untuk depresi di saat menghadapi kehilangan personal atau peristiwa hidup yang negatif. David Burns (1980) menyusun sejumlah distorsi kognitif yang diasosiasikan dengan depresi:
- 1. Cara berpikir All-or-Nothing Thinking. Memandang kejadian-kejadian sebagai hitam dan putih, sebagai “semua tentangnya baik” atau “semua tentangnya buruk”. Misalnya, seseorang dapat memandang sebuah hubungan yang berakhir dengan kekecewaan sebagai pengalaman yang benar-benar negative, terlepas dari perasaan atau pengalaman positif apa pun yang mungkin ada sepanjang hubungan tersebut.
- 2. Generalisasi yang Berlebihan. Mempercayai bahwa bila suatu peristiwa negatif terjadi, maka hal itu cenderung akan terjadi lagi pada situasi yang serupa di masa depan. Misal, menerima sebuah surat penolakan dari perusahaan yang potensial menyebabkan seseorang mengasumsikan bahwa semua lamaran kerja lainnya juga akan ditolak.
- 3. Filter Mental. Berfokus hanya pada detail-detail negative dari suatu peristiwa, dan dengan sendirinya menolak unsur-unsur positif dari semua yang pernah dialami. Beck menyebut distorsi kognitif ini sebagai selective abstraction (abstraksi selektif), yang berarti individu secara selektif mengambil detail detail negatif dari berbagai peristiwa dan mengabaikan unsur-unsur positifnya. Misal, seseorang menerima suatu evaluasi pekerjaan yang berisi komentar-komentar positif dan negatif namun berfokus hanya pada negatifnya saja.
- 4. Mendiskualifikasikan Hal-hal Positif. Mengacu pada kecenderungan untuk memilih kalah dari kemenangan yang hampir terjadi dengan menetralisasi atau tidak mengakui pencapaian-pencapaian anda.
- 5. Tergesa-gesa Membuat Kesimpulan. Membentuk interpretasi negatif mengenai suatu peristiwa, meskipun kekurangan bukti. Misal, menyimpulkan kekakuan sesaat yang terasa pada bahu pastilah merupakan suatu tanda dari sakit jantung, mengabaikan kemungkinan akan penyebab yang lebih ringan.
- 6. Membesar-besarkan dan Mengecilkan. Membesar-besarkan mengacu pada kecenderungan untuk membesar-besarkan pentingnya peristiwa negatif, kekurangan pribadi, ketakutan, atau kesalahan. Mengecilkan adalah memandang rendah kebaikan-kebaikan.
- 7. Penalaran Emosional. Mendasarkan penalaran pada emosi dan bukan pada pertimbangan-pertimbangan yang adil terhadap bukti.
- 8. Pernyataan-pernyataan Keharusan. Menciptakan perintah personal atau self-commandments.
- 9. Memberi Label dan Salah Melabel. Menjelaskan perilaku dengan melekatkan label negatif pada diri sendiri dan orang lain.
- 10. Melakukan Personalisasi. Mengacu pada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa diri anda bertanggung jawab atas masalah dan perilaku orang lain.
Beck dan koleganya memformulasikan Cognitive-specificity hypothesis (hipotesis spesifikasi kognitif), dimana ia menyatakan bahwa gangguan-gangguan yang berbeda, gangguan kecemasan dan gangguan depresi khususnya, ditandai oleh tipe pikiran=pikiran otomatis yang berbeda.
Teori Ketidakberdayaan (Atribusional) yang dipelajari
Model learned helplessness mengajukan pandangan bahwa orang dapat menjadi depresi karena ia belajar untuk memandang dirinya sendiri sebagai tidak berdaya dalam mengontrol reinforcement-reinforcement di lingkungannya atau untuk mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Orang pertama yang menyusun konsep ketidakberdayaan yang dipelajari Martin Seligman (1973, 1975) mengubah teori ketidakberdayaan dalam kerangka psikologi sosial atas attributional styke (gaya atribusional). Gaya atribusional adalah suatu gaya personal dalam menjelaskan sesuatu.
Saat kekecewaan atau kegagalan muncul, kita mungkin menjelaskannya dalam berbagai cara yang memiliki berbagai karakteristik. Kita dapat menyalahkan diri kita sendiri (atribusi internal), atau kita dapat menyalahkan situasi yang kita hadapi (atribusi eksternal). Kita dapat melihat pengalaman buruk sebagai kejadian-kejadian yang melekat dengan karakteristik kepribadian (atribusi stabil) atau sebagai peristiwa yang terpisah (atribusi tidak stabil). Kita dapat melihatnya sebagai bukti dari masalah yang lebih luas (atribusi global) atau sebagai suatu bukti dari kelemahan tertentu yang terbatas (atribusi spesifik).
Tiga tipe atribusi yang paling rentan terhadap depresi:
- 1. Faktor-faktor internal, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan ketidakmampuan pribadi, dan bukan faktor-faktor eksternal, atau keyakinan bahwa kegagalan disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan.
- 2. Faktor-faktor global, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan seluruh kesalahan dalam kepribadian dan bukan factor-faktor spesifik, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan area yang terbatas dari kemampuan berfungsi.
- 3. Faktor-faktor stabil, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan factor kepribadian yang menetap dan bukan faktor-faktor yang tidak stabil, atau keyakinan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dapatlah diubah.
- c. Gabungan Berbagai Pandangan
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, seperti lama menganggur atau perceraian, dapat memilii efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam otak. Efek biokimia ini lebih cenderung terjadi atau lebih pasti pada orang dengan suatu predisposisi genetis tertentu atau diathesis untuk depresi. Namun, suatu gangguan depresi mungkin tidak akan berkembang, atau dapat berkembang dalam bentuk yang lebih ringan, pada orang yang memiliki sumber-sumber daya coping yang lebih efektif untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan. Contohnya orang yang menerima dukungan emosional dari orang lain mungkin lebih mampu untuk menghadapi efek-efek dari stress daripada mereka yang harus menghadapinya sendiri. Begitu pula dengan otang yang mengusahakan coping yang aktif untuk menyelesaikan tantangan yang mereka hadapi dalam hidup.
Faktor-faktor sosiokultural dapat menjadi sumber-sumber utama stress yang mempengaruhi pengembangan gangguan mood. Faktor-faktor ini melibatkan kemiskinan; kepadatan; pemaparan terhadap rasisme, diskriminasi gender, dan prasangka; kekerasan dalam rumah atau dalam komunitas; beban stress yang tidak setara yang ditimpakan pada wanita; dan perpecahan keluarga. Faktor-faktor ini jelas terlibat baik dalam memicu gangguan mood atau menjadi penyebab dari kambuhnya gangguan tersebut.
Model Diatesis-stres dari Depresi
Diatesis untuk depresi dapat berbentuk kerentanan psikologis yang melibatkan suatu gaya berpikir yang cenderung depresi, yang ditandai oleh kecenderungan untuk membesar-besarkan konsekuensi dari peristiwa negatif, menumpuk kesalahan pada diri sendiri, dan mempersepsikan diri sendiri sebagai tak berdaya untuk menerima dampak perubahan yang positif. Diatesis kognitif ini dapat meningkatkan risiko depresi bila dihadapkan pada peristiwa-peristiwa hidup yang negatif. Pengaruh kognitif ini juga dapat berinteraksi dengan suatu diathesis yang berbasis genetis untuk meningkatkan resiko depresi secara lebih lanjut setelah terjadinya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Tersedianya dukungan sosial dari orang lain dapat membantu meningkatkan resistansi seseorang terhadap stress selama masa-masa sulit. Orang dengan keterampilan social lebih efektif dapat lebih mampu mengumpulkan dan mempertahankan reinforcement sosial dari orang lain sehingga lebih mampu untuk bertahan terhadap depresi daripada orang yang kurang memiliki keterampilan social. Namun perubahan biokimia dalam otak dapat mempersulit seseorang untuk mengatasi masalah secara efektif dan bangkit kembali dari peristiwa hidup yang penuh tekanan. Perubahan biokimia dan perasaan depresi yang terus terjadi akan memperburuk perasaan tidak berdaya, dikombinasikan dengan efek dari stressor awal dan seterusnya.
Perbedaan yang terkait dengan gender dalam gaya coping juga dapat ikut berperan. Pria dan wanita dapat berespons secara berbeda terhadap perasaan depresi. Menurut Nolen-Hoeksema, wanita lebih cenderung untuk merenung saat menghadapi masalah emosional, dan pria lebih cenderung untuk mencari pelarian dalam sebuah botol (minuman keras). Perbedaan-perbedaan ini atau yang lainnya dalam gaya coping dapat mendorong wanita kepada periode depresi yang lebih panjang dan lebih parah sementara pada pria dapat membentuk tahap-tahap dari perkembangan masalah yang terkait dengan minuman keras.
Pengobatan untuk Depresi
Secara umum, pengobatan untuk depresi meliputi:
- 1. Obat-obatan
- Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors (SSRIs), termasuk Fluoxetine (Prozac), Sertraline (Zoloft), Paroxetine (Paxil), Fluvoxamine (Luvox), Citalopram (Celexa), dan Escitalopram(Lexapro).
- Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRIs), termasuk Desvenlafaxine (Pristiq), Venlafaxine (Effexor), dan Duloxetine (Cymbalta).
- Tricyclic Antidepresan
- Bupropion (Wellbutrin)
- Monoamine oxidase inhibitors \
- 2. Terapi bicara
Jenis terapi bicara meliputi:
- Cognitive behavioral therapy yang mengajarkan bagaimana untuk melawan pikiran negatif. Pasien akan belajar bagaimana untuk menjadi lebih sadar pada gejala dan bagaimana untuk menemukan hal-hal yang membuat depresi menjadi lebih parah. Pasien juga akan diajarkan keterampilan pemecahan masalah.
- Psychotherapy yang dapat membantu pasien memahami isu-isu yang mungkin berada di balik pikiran dan perasaan pasien.
- Bergabung dengan kelompok pendukung dari orang-orang yang berbagi masalah seperti pasien juga dapat membantu.
- 3. Electroconvulsive therapy (ECT) adalah pengobatan yang paling efektif untuk depresi berat dan umumnya aman. ECT dapat meningkatkan mood pada orang-orang dengan depresi berat atau pikiran bunuh diri yang tidak mendapatkan yang lebih baik dengan perawatan lainnya. Hal ini juga dapat membantu mengobati depresi pada mereka yang memiliki gejala psikotik.
- Transcranial magnetic stimulation (TMS) menggunakan pulsa energi untuk merangsang sel-sel saraf di otak yang dipercaya mempengaruhi suasana hati. Ada beberapa penelitian menyarankan bahwa hal itu dapat membantu meringankan depresi.
- Terapi cahaya dapat meredakan gejala depresi pada waktu musim dingin. Namun, biasanya tidak dianggap sebagai pengobatan pada lini pertama.
Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan tidak meminum alkohol atau menggunakan obat-obatan terlarang. Zat ini dapat membuat depresi lebih buruk dan dapat menyebabkan pikiran bunuh diri.
Selain itu, minum obat seperti yang diinstruksikan dokter. Tanyakan kepada dokter tentang efek samping yang mungkin dan apa yang harus dilakukan jika timbul efek samping. Kita harus belajar untuk mengenali tanda-tanda awal bahwa depresi semakin buruk.
Ada beberapa cara untuk membantu agar merasa lebih baik:
- 1. Mendapatkan lebih banyak latihan
- 2. Mempertahankan kebiasaan tidur yang baik
- 3. Cari kegiatan yang membawa pada kesenangan
- 4. Caria tau terlibat dalam kegiatan kelompok
- 5. Berbicara pada seseorang yang tahu bagaimana perasaan kita
- 6. Coba untuk berada di sekitar orang-orang yang peduli dan positif
Contoh Kasus
Seorang pegawai administrasi perempuan, berusia 38 tahun, telah menerima depresi singkat yang muncul berulang kali sejak ia berusia 13 tahun. Terakhir, ia merasa terganggu oleh serangan menangis di tempat kerjanya, terkadang muncul secara sangat tiba-tiba sehingga ia tidak punya cukup waktu untuk lari ke toilet wanita demi menyembunyikan tangisnya dari orang lain. Ia mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi saat bekerja dan merasa kurang mendapat kepuasan dari pekerjaan yang sebelumnya sangan ia nikmati. Ia menyimpan perasaan pesimistis dan rasa marah yang parah, yang akhir-akhir ini telah menjadi semakin parah karena berat badannya bertambah dan ia mengabaikan perawatan terhadap diabetes yang diidapnya. Ia merasa bersalah terhadap kemungkinan bahwa ia sedang membunuh dirinya sendiri secara perlahan-lahan dengan tidak menjaga kesehatannya secara lebih baik. Ia terkadang merasa pantas untuk mati. Ia merasa terganggu oleh rasa kantuk yang berlebihan selama satu setengah tahun terakhir ini, dan surat izin mengemudinya telah ditahan karena kecelakaan bulan kemarin di mana ia tertidur saat menyetir, yang menyebabkan mobilnya menabrak kotak telepon umum. Hampir tiap pagi ia bangun dengan rasa pusing dan merasa “tidak bersemangat”, serta tetap mengantuk sepanjang hari. Ia tidak pernah memiliki pacar tetap, dan hidup tenteram dengan ibunya, tanpa adanya teman dekat di luar keluarganya. Selama wawancara, ia berulang kali menangis dan menjawab pertanyaan dengan nada suara yang lambat, sambil terus-menerus melihat ke bawah.
sumber : https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Major+Depressive
0 comments:
Post a Comment